Perang Minyak Dunia

Oleh: Agus Adhary

Serangan udara pasukan sekutu terhadap Negara merdeka Libya yang telah memakan korban penduduk sipil berjumlah 64 orang,  (Pesat News 21/03). Serangan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan dalih pemberlakuan zona larangan terbang ini dianggap di luar batas, seharusnya pihak sekutu lebih paham tentang pengamanan zona larangan terbang yang diberlakukan ketika ada pesawat yang melintas pada zona tersebut bukan dengan membom-bardir gudang-gudang dan pangkalan bersenjata milik tentara Libya, hal ini malah mengakibatkan Libya menjadi lemah dalam bidang pertahanan karena kekurangan kekuatan atau inikah memang tujuan Negara sekutu agar dapat memegang kendali terhadap Libya?

“Pemboman ngawur, Siapa yang memberi hak kepada negara-negara (Barat) itu? Baik Amerika Serikat, Perancis, Inggris atau negara mana pun tidak berhak menjatuhkan bom-bom itu.” (Kompas 21/03), kata yang diungkapkan oleh Presiden Venezuela Hugo Chaves yang mengutuk aksi tentara sekutu yang mengintervensi negara berdaulat dengan alasan resolusi PBB 1973, Hugo Chaves menganggap serangan ini adalah murni penjajahan terhadap Sumber Daya Mineral yang dimiliki Negara Libya.

Serangan yang dilancarkan oleh tentara sekutu sebenarnya hanya untuk menguasai minyak yang ada di Negara Libya. Setelah Khadafi berhasil digulingkan, Amerika akan berusaha memilih calon pengganti Khadafi yang menjadi presiden di Negara Libya atas nama Demokrasi yang selalu dibanggakan bangsa Amerika. Sama seperti yang dilakukan terhadap Irak dan Afganistan.

Kisruh yang terus terjadi di negara-negara Arab penghasil minyak saat ini bukan tidak ada yang merencanakan. kejadian ini bukan murni kemauan rakyat, namun negara-negara Adi kuasa  yang telah merencanakan pemberontakan terhadap negara-negara penghasil minyak. Perlu diketahui dari manakah sumber dana untuk melakukan pemberontakan?

Amerika dan negara-negara yang memiliki kepentingan akan sumber daya mineral inilah yang telah membiayai pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di timur tengah. tujuannya adalah menciptakan negara boneka yang dapat terus menyuplai minyak.

Cadangan Minyak 

Libya merupakan sumber energi dunia  dibawah Rusia dengan kemampuan menghasilkan minyak  1,5-1,6 juta barrel/hari. Dengan angka fantastis ini, tentu akan memancing Negara-negara tanpa energi seperti negara di Eropa untuk berusaha mengambil alih secara halus terhadap penguasaan energi No. 1 di dunia.

Perebutan cadangan minyak dunia ini terus dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam NATO yang miskin energi. Minyak yang menjadi penggerak perekonomian dunia ini, saat ini telah menembus 100 Dollar/ Barrel dan akan terus naik seiring konflik berkepanjangan di negara-negara penghasil minyak,

Cadangan minyak dunia berada di level 1,258 triliun barrel pada akhir tahun 2008, turun dibandingkan dengan 1,261 triliun barrel pada tahun sebelumnya. BP merilis data ini melalui laporan Statistical Review of World Enegy.

Negara-negara di Timur Tengah kini memiliki 60 persen  atau 754,1 miliar barrel dari persediaan global. Angka itu berbeda dari tahun lalu yang mencapai 755 miliar barrel. Misalnya saja persediaan Saudi Arabia, yang paling besar di dunia, masih memiliki 264,1 miliar barrel; sedikit berbeda dari tahun sebelumnya sebesar 264,2 miliar.

Diperkirakan cadangan minyak dunia akan habis dalam waktu 40 tahun lagi. wajar apabila kolonialisme mulai bangkit kembali dan ingin menguasai sumber cadangan energi dunia. Negara-negara yang memiliki cadangan terbesar saat ini adalah Arab Saudi dengan cadangan minyak 259,9 miliar barel dan total porsi dunia sebesar 19,20%; Kanada dengan cadangan minyak 175,2 miliar barel dan total porsi dunia sebesar 12,94%; Iran 137,6 miliar barel (10,16%); Irak 115 miliar (8,5%); Kuwait 101,5 miliar barel (7,5%); Venezuela 99,4 miliar barel (7,34%); Uni Emirat Arab  97,8 miliar barel (7,22%); Rusia 60 miliar barel (4,43%); Libya 44,3 miliar barel (3,2%); Nigeria 37,2 miliar barel (2,75%); Kazakhstan 30 miliar barel (2,22%); Qatar 25,4 miliar barel (1,88%); Cina  19,2 miliar barel (1,42%); Amerika Serikat 19,2 miliar barel (1,42%); Brasil 11,65 miliar barel  (0,95%). (Tempo  05/03)

Dari 14 negara penghasil minyak, hanya 2 negara yang tidak mengekspor minyaknya ke Amerika Serikat yakni Iran dan Cina yang selama ini menjadi lawan ekonomi negara barat.

Indonesia Perlu Khawatir

Indonesia sendiri saat ini hanya menghasilkan minyak sebesar 950 ribu barel per hari dengan konsumsi mencapai 1.400 juta barel dan Indonesia terpaksa mengimpor minyak dari luar guna mencukupi kebutuhan energi dalam negeri.

Seiring terus menipisnya energi dunia dan belum ada langkah progresif yang signifikan terhadap solusi pengalihan sumber energi Indonesia bisa saja menjadi The Next Victim Of Colonialism (korban jajahan selanjutnya) langkah yang tepat harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menghindari hal tersebut, karena cepat atau lambat seluruh Negara-negara penghasil minyak akan menjadi sorotan dunia.

Kebijakan-kebijakan untuk mempertahankan negara harus dilakukan sedini mungkin guna terhindar dari konflik perebutan sisa sumber energi dunia. Langkah positif yang perlu dilakukan adalah, Pertama kurangi angka ekspor sumber daya energi dan lebih banyak digunakan untuk keperluan dalam negeri agar terciptanya masyarakat yang kokoh dan dapat mempertahankan keutuhan Negara. Kedua, perlu pencarian ladang minyak baru guna meningkatkan penghasilan minyak Negara gara dapat dijadikan cadangan pada saat sumber energi menipis. Ketiga, perlu adanya langkah signifikan terhadap solusi pengganti energi minyak bumi.

Terakhir yang perlu diwaspadai oleh Indonesia adalah Intervensi negara asing  yang berlebihan dalam penguasaan sumber energi Indonesia. dengan hal tersebut Indonesia dapat lebih mandiri mengelola sumber energi yang masih tersisa di bumi Indonesia***Penulis adalah Peneliti muda Center of law and Democracy Studies (CLDS)

Euforia Pasca UN

Uforia Pasca Ujian Nasional

Oleh: Agus Adhary*

 

Gelapnya wajah siswa-siswi hilang seketika setelah   menghadapi ujian nasional (UN), setelah berkutat dengan soal-soal yang membuat jantung berdegup kencang, bukan hanya karena soal-soal  yang sulit tapi karena UN adalah sebuah pengakuan keberhasilan seorang siswa.

Kepenatan pasca UN akhirnya dapat dirayakan oleh siswa di seluruh Indonesia dengan beragam, mulai dari makan bersama (syukuran) sampai yang paling “kreatif” yaitu corat-coret baju sekolah dan konvoi di jalanan. Tidak diketahui secara pasti kapan bermulanya kebiasaan ini, yang jelas hampir seluruh siswa di pelosok negeri ini merayakan hal serupa dan yang pasti corat-coret pasca UN adalah tradisi di sekolahan dan karena ujian dilaksanakan serentak di seluruh pelosok negeri ini maka corat-coret dilakukan serentak pula. Walaupun hasil UN belum diumumkan, bukan sebuah masalah bahkan ada dua episode corat-coret, yang pertama setelah ujian dan yang kedua saat pengumuman nilai.

Ketika nama terpampang sebagai tanda siswa lulus di papan pengumuman sekolah uforia episode kedua pun dimulai, dari mulai coret pakaian tak jarang para siswa rela wajahnya jadi korban spray paint (cat semprot) bahkan jalanan menjadi ramai karena konvoi sepeda motor yang kadang melanggar rambu-rambu jalan sehingga tak jarang terjadi kecelakaan karena banyak yang tidak memakai pengaman seperti helm.

Kebiasaan seperti ini menjadi pertanyaan, dimanakah sisi akademisnya?. Siswa yang di didik di bangku sekolah dan dicekoki berbagai mata pelajaran berubah menjadi “liar” setelah melihat pengumuman kelulusan.

Inilah wajah pendidikan Indonesia yang menjadikan UN satu-satunya cara lulus dari sekolah  bahkan tak jarang siswa yang paling pintar di sekolah tidak lulus UN dikarenakan kurang kreatif dalam melingkari lembar jawaban komputer (LJK) dan metode ini juga dianggap tidak efektif karena pendidikan yang tidak merata di setiap daerah. Hal ini sangat disayangkan, di tengah kemerosotan mutu pendidikan ditambah lagi tradisi yang dipertanyakan sisi akademisnya para siswa seakan tidak mau berfikir bahwa pasca lulus masih banyak rintangan yang menghadang dan uforia seperti ini bukan jalan yang baik untuk menghadapinya.

Ujian Belum Selesai

            Setelah lulus UN para siswa seharusnya lebih siap menentukan masa depannya karena lulus UN bukan berarti mereka mendapatkan pekerjaan bahkan tingkat pengangguran yang semakin meningkat yang di isi oleh para lulusan SMA sederajat sampai sarjana.

Persiapkan diri sejak dini merupakan cara menghadapinya, ditengah persaingan yang sangat ketat dalam mencari pekerjaan di Indonesia  seharusnya lebih menjadi momok yang menakutkan bahkan lebih “menakutkan” dari pada UN. Bagaimana tidak, keberhasilan dalam dunia kerja adalah pengakuan dari masayarakat yang lebih tinggi dari pengakuan lulus UN.

Para siswa kini dihadapkan pada persoalan hidup, ingin berhasil atau tidak. Kompetisi dalam mencari pekerjaan kini di isi oleh jutaan pencari kerja, di saat perekonomian yang tidak kunjung membaik dan membludaknya jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 237.556.363 juta jiwa per juni 2010 dan Indonesia yang setiap tahunnya melahirkan para pencari kerja wajar saja negara ini adalah salah satu produsen tenaga kerja terbesar di asia tenggara yang telah banyak mengekspor tenaga kerja Indonesia (TKI) di banyak negara maju.

Hal ini seharusnya menjadi perhatian para siswa agar lebih dini mempersiapkan keterampilan lain karena pendidikan di Indonesia tidak pernah menjamin setiap warga negaranya mendapatkan pekerjaan walaupun dalam pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” tapi pasal ini bukan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) angka pencari kerja di Indonesia per februari 2010 mencapai 116 juta orang, angka ini apabila dipersenkan sekitar 49% penduduk Indonesia adalah pencari kerja dan sekitar 7,41% tingkat pengangguran.

Persentase di atas perlu diperlihatkan pada siswa agar tidak terpesona dengan kelulusan UN yang tidak menjamin mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kreatifitas

            Di tengah krisis moral para pejabat negara dan krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga menghempaskan para siswa yang hendak berkerja. Untuk menopang perekonomian rakyat kecil guna menopang usaha mikro agar para warga negara mampu menciptakan lapangan kerja sendiri pemerintah telah mengucurkan dana pinjaman, tapi apakah seluruh  siswa memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja? karena tidak semua sekolah berorientasi pada dunia kerja.

Di tengah kebiasaan para siswa yang kadang suka hura-hura, dan minimnya tingkat kreatifitas yang dimiliki membuat hal ini semakin pelik untuk disaksikan. Ketersediaan dunia kerja makin sempit dan kebiasaan buruk siswa yang tidak pernah siap menerima tantangan hidup disertai pula tingkat pendidikan yang kurang baik, tak heran sampai kapan indonesia terus mencetak para TKI.

Hanya kreatifitas dan kesiapan siswa yang diharap mampu untuk memperbaiki masa depan perekonomian bangsa. Kini para siswa masih terjerumus dalam hegemoni kebiasaan siswa yang tidak siap menghadapi masa depan.**** Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM dan Peneliti pada Center of Law and Democracy Studies CLDS 

              

KONVERSI AGAMA DAN FAKTOR-FAKTORNYA

Oleh: Agus Adhary

A. Latar Belakang Munculnya Agama.

Beberapa Literatur menyebutkan sejarah munculnya agama adalah dari adanya proses reform dari kepercayaan dan keyakinan, beranjak sejenak melihat bagaimana primitive pada zaman dahulu mengenal adanya kekuatan diatas kekuatan mereka yang lebih besar. Di lihat dari aspek kekuatan, maka pada saat dulu pada zaman pra sejarah masyarakat primitive telah mengenal adanya sebuah kekuatan yang mereka percayai adalah kekuatan dari intensitas tertinggi yaitu sesuatu yang ada tapi tidak dapat di lihat tapi dapat diketahui, instinc ini disebut oleh  John Locke adalah  reflection,[1] dalam Al-Quran (ar-Rum: 30) disebutkan ada 3 sifat yang dibawa manusia sejak lahir, yang pertama adalah ‘Aql sebuah sifat yang memiliki kekuatan untuk mengenal Tuhan, kedua adalah Syahwat sifat mengenal nafsu dan keinginan, ketiga adalah gadlab yang berarti sebuah kekuatan untuk memberitahu jika ada bahaya.[2]

Agama adalah keyakinan dan kepercayaan, menarik diskusi antara sahabat dekat saya dengan temannya yang mendiskusikan tentang keyakinan dan kepercayaan yang kemudian berevolusi dalam wujud formalitas era modern tapi system dan prosedur tidak berubah, maka dapat dikatakan bahwa kepercayaan dan keyakinan pada zaman dulu adalah wujud nyata agama pada era modern. Agama menurut Eliade bukan hanya sebatas kepercayaan seseorang terhadap Tuhan, Roh, Dewa, tapi juga sebuah pengalaman kudus, sebagai konsekwensinya berhubungan erat dengan konsep ada, makna, dan kebenaran.[3]

Perkembangan Agama modern seperti yang di kenal saat ini ada tiga agama besar yang hidup dan bertahan di dunia, pertama Islam, Kristen dan Yahudi. Banyak juga agama lain tapi tidak beroriantasi pada langit tapi pada kekuatan alam dan batin spiritualnya. Masuknya agama dalam setiap lini kehidupan masyarakan tidak lepas dari sebuah keinginan untuk mengatur lebih jauh tatanan hidup masyarakat. Pada tahun 326 M, sejak gereja Vatikan berdiri di Roma, seluruh masyarakat seakan tunduk pada kekuatan gereja, kekuatan gereja juga dianggap sebagai dogma dan doktrin tak terbantahkan. Bahkan kekuatan gereja adalah kekuatan Tuhan dianggap oleh penganutnya, sehingga pada saat itu kerajaan Kristen dengan gampang member doktrin kepada rakyatnya atas nama gereja,, dan gereja sendiri adalah rujukan politik dan tindakan penguasa pada saat itu. Pada tahun 1633 Galileo Galilei seorang ilmuan yang menguatkan teori heliocentris ( sebuah teori dimana bumi dan seluruh planet berputar mengelilingi pusat tata surya matahari) karangan Nicolus Corpernicus dalam bukunya De Revolutionibus dijatuhi hukuman seumur hidup oleh gereja yang merasa doktrinnya disalahkan oleh para Ilmuan bahkan sebelumnya pada tanggal 17 Fabruari 1600 Giordano Bruno di jatuhi hukuman mati dengan cara dibakar karena membela teori heliocentric.[4] Dapat dilihat bagaimana peranan agama yang luar biasa yang pada saat awal munculnya hanya merupakan proses yang disebut mitos[5] kini menjadi sebuah kekuatan yang besar dalam setiap aspek kehidupan masyarakat diseluruh dunia.

B. Pengertian Agama.

Agama (Sanskerta, a = tidak; gama = kacau) artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio dari religere, Latin artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi. Tetapi menurut pendapat yang lain pengertian agama yang saat ini bukanlah pengertian sesungguhnya, untuk lebih jelasnya perlu adanya sebuah penelitian khusus mengenai agama primitive. Untuk lebih jelasnya kita akan mulai bagaimana pengertian agama sesunggguhnya, agama bukan hanya sebuah unsure yang melekat tapi juga unsure epistimologi yang bernuansa filsafat yang khas.[6]

1. Agama Modern.

Sejauh ini yang dimaksud dengan agama adalah sebuah tatanan norma yang mengikat bagi pemeluknya yang menjadi formal dan konskwensi mengikat atas setiap perbuatan yang dilakukan diluar ketentuan norma agama tersebut, singkatnya segala bentuk tindakan diluar norma agama akan berdampak bagi moral pemeluknya.

Berkembangnya agama modern dimulai dari lahirnya Krisna sekitar tahun  3000 SM dengan membawa pengaruh Hindu di dataran asia, kemudian setelah itu pada tahun 2000 SM lahirlah Ibrahim yang membawa pengaruh tauhid ketuhanan yang berkembang menjadi Yahudi dan hanya sedikit pengaruhnya, baru sekitar tahun 480 SM lahirnya Budha di daratan Asia yang member pengaruh cukup luas, kemudian pada tahun 32 M, setelah kematian Isa (Yesus) berkembanglah agama Kristen dengan populasi yang sangat besar pada saat itu yang di pelopori oleh paulus, kemudian pada tahun 570 M, lahir Muhammad yang membawa agama Islam yang membentang seluruh dataran Asia yang berbatasan dengan Eropa bahkan tidak terelakan peperangan dengan tentara Kristen.[7]

2. Agama Primitif.

Agama primitive seperti digambarkan diatas sebuah proses pengenalan terhadap intensitas tertinggi dengan dapat merasakan kakuatan di luar kekuatan manusia pada saat itu. Maka agama primitive sebenarnya adalah proses peralihan dari Anemisme, Dinamisme, Politheisme sampai dengan Monotheisme.[8]

Proses perkembangan agama terus menjadi tujuan hidup manusia karena memiliki instinc yang disebut John Lock filosof barat dengan Reflection atau kehendak bathin, yang mana setiap manusia merasakan sebuah gejolak untuk mengetahui siapa penciptanya dan untuk mengenal siapakan tuhannya.

Sejak dahulu kepercayaan dan keyakinan terhadap kekuatan diluar kekuatan manusia sudah ada, bahkan sekelompok orang primitive yang tinggal di hutan sekalipun pasti memuja kekuatan selain kekuatan manusia. Seperti  kepercayaan terhadap arwah leluhur yang akan selalu hidup bersama mereka, dan ini masih terjadi saat ini di tanah Toraja.\

C. Konversi Agama.

`     Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat di artikan dengan berubah agama ataupun masuk agama. Menurut Thouless (1992), konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba. Menurut kata “convertion” dalam bahasa Inggris berarti “masuk agama”. Sementara Max Heirich mendeskripsikan Konversi Agama adalah tindakan seseorang atau kelompok yang masuk atau berpindah ke suatu system kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan yang sebelumnya.[9]

Fenomena religious social sangat menarik untuk dipelajari adalah fenomena masuk agama atau disebut dengan konversi agama, saya tidak dapat menjelaskan secara tuntas isi dari penelitian ini, karena hanya bersifat pustaka dan peliknya permasalahan ini. Masalah ini tidak hanya menyangkut sikap institusional dari agama yang dimasuki, tapi juga masih menyangkut sikap personal dari orang yang masuk agama. Dalam bab ini akan digunakan banyak bahan uraian dari Herve Carrier SJ dalam bukunya Psycho-sociologie de l’appartenance religieuse, yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul The Sociologi of Religious Belonging, Darton, Longman & Todd London 1965.

Masalah Konversi agama akan dibahas dalam langkah berikut:

1. Faktor Pendorong Konversi Agama.

Max Heinrich merasa sangat tertarik dengan masalah ini, menurut Max Heinrich ada 4 faktor yang mendorong Konversi Agama.

a)      Dari kalangan ahli teologi: Faktor Pengaruh Ilahi, seseorang atau atau sekelompok berpindah kepercayaan karena didorong oleh karunia  Tuhan tanpa karuniaNYA tidak mungkin seseorang dapat menerima kepercayaan yang sifatnya radikal mengatasi kekuatan Insani. Pendapat itu digolongkan (supra-empiris) dan tidak dapat diteliti dalam ilmu social.

b)      Dari ahli psikologi: pembebasan dari tekanan batin, tekanan batin itu sendiri timbul dalam diri seseorang karena pengaruh lingkungan social, orang mencari kekuatan lain yaitu dengan cara masuk agama. Pada saat seseorang berada dalam tekanan batin mereka akan mencoba mencari jalan keluar dengan kekuatan yang lain, dari sinilah mereka menemukan kekuatan dari intensitas tertinggi (Tuhan). Tekanan batin dapat berupa masalah keluarga, kemiskinan, keadaan lingkungan yang menekan, dll.

c)      Ahli pendidikan: situasi pendidikan (sosialisasi). Dalam hal ini literature ilmu social menampilkan argumentasi bahwa pendidikan memainkan pengaruh lebih atas terbentuknya disposisi religious, seperti yayasan-yayasan keagamaan, tapi hal ini perlu penelitian lebih lanjut, karena tujuan dari lembaga pendidikan bukanlah Konversi Agama melainkan mencerdaskan bangsa.

d)     Ahli social: aneka pengaruh social. Seperti  pengaruh pergaulan antar pribadi, orang diajak masuk sebuah perkumpulan yang sesuai dengan seleranya oleh seorang teman akrab, orang yang diajak berulang-ulang melakukan kebaktian keagamaan, selama waktu transisi mencari “pegangan baru” orang mendapatkan nasehat dari saudara dan teman terdekatnya, sebelum bertobat orang menjalin hubungan baik dengan pemimpin agama tertentu.[10]

2. Proses Konversi Agama.

Masalah konversi agama lebih menarik dikaji setelah kita mengetahui apa saja factor-faktor yang menjadi penyebabnya. Proses konversi agama lebih menarik dikaji dengan menggunakan ilmu sosiologi. Untuk memulainya kita ambil titik persoalan pokok ini:

A.    Pengaruh situasi apakah yang dapat menghancurkan realitas kejiwaan dasar dalam diri seseorang atau kelompok dan kemudian membangun realitas baru?

Dalam proses konversi tersebut terdapat tiga pengaruh besar yang bekerja –sama, yaitu:

1)      Kekuatan Psikologis. Menurut M.T.L. Penido yang dikutip H. Carrier, konversi agama mengandung dua aspek,[11] yaitu:

a)      Petobatan Batin (endogenos origin). Pertobatan batin timbul dalam diri seseorang oleh karena kesadaran subyek itu atau kelompok yang bersangkutan.

b)      Pertobatan Lahir (exogenous origin). Pertobatan batin lahir dating dari factor-faktor luar yang menguasai subjek atau kelompok itu, kekuatan luar tersebut bias jadi sesuatu yang menyenangkan atau yang menyusahkan.

Dalam kaitannya dengan pertobatan batin, tepatnya mengenai apa sebenarnya yang terjadi dalam prose situ, J. Stoetzel dalam bukunya “Theorie Des Opinions” memberikan keterangan yang berguna. Dia mengatakan bahwa konversi agama mengandung krisis dan keputusan (resolution) yang diambil subyek yang bersangkutan.[12]

2)      Kekuatan Sosiologis, proses psikologis pertobatan di atas tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi factor luar, yang disebut factor sosiologis, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konversi terdapat pengaruh timbale balik antara kekuatan dalam batin dan kekuatan luar  antara factor-faktor psikologis dan factor-faktor sosiologis. Dalam pengkajian ini ingin diketahui manakah factor sosiologis dan bagaimana faktor0faktor tersebut memainkan peranan atas proses konversi tersebut. Untuk menjawab dua statement diatas maka akan dikemukakan dua kekuatan sosiologis, sebagai berikut:

a)      Disorganisasi Masyarakat. Adanya pengaruh disorganisasi masyarakat atas perpindahan agama sebagai fakta, dapat ditemukan dalam sampel dari imigran peurto rico yang beragama katolik yang masuk gereja pantekostal. Di Indonesia ada konversi agama dari Hindu – Islam sejak terjadinya perubahan kekuasaan dari majapahit ke kerajaan islam.

b)      Keunggulan cultural kelompok agama baru juga bisa menjadi penyebab sosiologis, karena pada saat suatu kelompok yang beragama adat ketika mereka menemukan atau mendengar agama baru yang lebih terbuka dari segi ilmu pengetahuan, seperti masuknya islam di Indonesia dimana islam mengajarkan pada doktrin monotheisme, ajaran syariat yang praktis, tidak mengenal perbedaan kasta, tidak adanya saparatisme agama dan Negara, bahkan ilmu pengetahuan eksakta yang tinggi, sehingga bermunculan para filsuf dan ilmuan-ilmuan muslim, seperti yang dikenal Ibnu Rusd atau Averros di dunia barat.

3)      Kekuatan Ketuhanan. Kajian terhadap hal ini tidak dapat dikaji secara ilmu social maupun psikologis, karena  Tuhan memberikan wahyu dan petunjuk dengan hal yang tidak bias dicerna oleh akal.


[1] Dedi Ismatullah, Beni Ahmad Saebani, Hukum Tata Negara: Refleksi Khidupan Ketatanegaraan Di Negara republic Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, hal. 50.

[2] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Piara, 1997, hal. 32.

[3] Mircea Eliade, The Quest, History and Meaning In Religion. Chicago:University Of Chicago Press, 1969, hal. i.

[4] Kumara Ari Yuana, The Greathes Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat Dari Abad 6 SM- Abad 21 M Yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta:Penerbit Andi, hal. 117.

[5] Morton Klass, Ordered Universes: Approaches to The Anthropology of Religion, United Kingdom: Westview Press, 1995, hal. 123.

[6] A. Sudiarja, Agama (di Zaman) Yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal. 147.

[7] Maps Of Wars, Religion Development, http://www.mapsofwar.com/images/Religion.swf diakses pada tanggal 2 Desember 2010.

[8] A. G. Honig (jr), Koesoemo Soesastro (terj), Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia, 2005, hal. 11.

[9] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983, hal. 79.

[10] Max Heinrich, Change Of Heart: A Test of Some Widely Theories about Religious Conversion, dlm. American Journal Of Sociologi, Vol. 83, No. 3, hal, 667.

[11] H. Carrier SJ. The Sosiology of Religious Belonging, London: Darton, Longman & Todd, hal. 70.

[12] Ibid, hal. 71.

Pembangunan Ekonomi: Masalah Perkembangan Ekonomi

OLEH: AGUS ADHARY
A. Pembangunan Ekonomi Dan Ekonomi Pembangunan.

Pembangunan Ekonomi sering diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk  mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat.

Ekonomi Pembangunan adalah suatu bidang studi dalam ilmu ekonomi yang mempelajari tentang masalah-masalah ekonomi  di  negara-negara berkembang.

Beberapa factor kekurangperhatian terhadap pembangunan pada masa sebelum Perang Dunia II, diantaranya adalah:

  1. Penjajahan Masih Berlangsung Secara Meluas.

Pembangunan di daerah jajahan memiliki tiga tujuan diantaranya adalah:

  • Mengeksploitasi kekayaan di daerah jajahannya.
  • Menyediakan bahan bakar mentah untuk  industri di Negara penjajah.
  • Menyediakan pasar untuk barang industri yang dihasilkan di Negara penjajah.

2. Kekurangan Perhatian dalam Masyarakat yang Terjajah.

Para pemimpin negeri yang terjajah cenderung hanya memikirkan bagaimana negaranya bisa merdeka dan terlepas dari penjajahan sementara factor pembangunan ekonomi dikesampingkan.

3. Kekurangan Perhatian di Kalangan Cendikiawan.

Analisis mengenai pembangunan ekonomi sangat terbatas karena pada saat itu semua ahli dan cendikiawan sibuk memerhatikan masalah kemerosotan ekonomi (depresi) sebelum Perang Dunia II.

Setelah berakhir Perang Dunia II perhatian pada pembangunan ekonomi mulai berkembang dengan pesat hal ini di tenggarai pada beberapa alasan:

  1. 1. Keinginan Negara Berkembang untuk Mengatasi Keterbelakangan Mereka.

Negara berkembang segera memulihkan diri untuk segera berbenah mengetasi ketertinggalan mereka dengan mensejahterakan penduduknya dibandingkan dengan prestasi Negara bekas penjajah mereka, ada beberapa Negara baru muncul setelah Perang Dunia II, diantaranya adalah: India, Pakistan, Srilangka, Myanmar, Filipina, Indonesia dan korea, sedangkan pada tahun 1950-an lebih banyak lagi Negara terjajah memerdekakan Negara mereka diantaranya seperti, Malaysia, Singapura, Brunai, dan berbagai Negara di Afrika.

2. Sebagai Usaha Membantu Mewujudkan Pembangunan Ekonomi untuk Menghambat Perkembangan Komunisme.

Setelah Perang Dunia II banyak Negara-negara yang beralih ideologi yang pada saat itu dikuasai oleh Komunis, seperti Negara Rusia yang menjadi Negara Komunis pertama didunia pada tahun 1917, kemudian dieropa Jerman Timur berpisah dengan Jerman Barat dan menjadi Negara Komunis sementara di Asia beberapa Negara juga menganut paham Komunis seperti Cina, Korea Utara dan Vietnam dan di Eropa timur seperti Polandia, hungaria, Cekoslovekia, Bulgaria dan Rumania yang menimbulkan konflik baru disebut Cold War “Perang Dingin” kemudian mereda pada tahun 1980-an.

3. Sebagai Usaha untuk Meningkatkan Hubungan Ekonomi.

Adanya bantuan Negara Maju terhadap Negara Berkembang yang sangat efisien dan prosfektif sehingga mampu mempererat hubungan ekonomi antar Negara-negara yang lain.

4. Berkembangnya Keinginan untuk Membantu Negara Berkembang.

Setelah Perang Dunia II Negara Maju mulai memperhatikan nasib manusia, adanya keinginan untuk membantu Negara berkembang seperti melalui pinjaman dengan tarif ringan, adakalanya jangka pinjaman dapat mencapai (20-30).

Setelah setengah abad pasca Perang Dunia II masalah pembangunan tetap menjadi aspek penting yang banyak mendapat perhatian dalam hubungan dan kerjasama Internasional.

B. Perbedaan pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi.

Pertumbuhan Ekonomi adalah suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dan rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan formula sebagai berikut:

Unsur diatas dijelaskan sebagai berikut:

g  adalah persentase pertumbuhan ekonomi

GDP1 adalah (gross domestic product atau produk domestic bruto atau dengan ringkas PDB)

GDP0 adalah pendapatan nasional rill pada tahun sebelumnya.

Pembangunan Ekonomi adalah pertumbuhan Ekonomi ditambah dengan perubahan, maksudnya adalah hasil yang meningkat dari pertumbuhan ekonomi disebut Pembangunan Ekonomi.

C. Beberapa Ciri Umum Negara Berkembang.

1. Tingkat Kemakmuran Relatif Rendah.

Yang mempengaruhi adalah tingkat insfrastruktur yang masih rendah, air bersih dan listrik yang belum memadai, pendapatan perkapita lebih rendah daripada pendapatan perkapita Negara yang berpendapatan tinggi, sebagai akibat pendapatan yang rendah, maka menimbulkan masalah-masalah berikut

  1. Masalah kekurangan gizi dan taraf kesehatan ynag rendah
  2. Kemiskinan masih meluas.
  3. Taraf pendidikan masih rendah.

2. Produktivitas Pekerja Sangat Rendah.

Hal tersebut disebabkan factor- factor sebagai berikut:

  1. Sebagian besar penduduk di Negara berkembang ada di sektor pertanian tradisional, produktifitas pertanian tradisional sangat rendah.
  2. Kebanyakan usaha manufaktur terdiri dari usaha keluarga, yang menggunakan mesin tradisional.
  3. Sektor jasa dan pertanian menghadapi masalah pengangguran terselubung.
  4. Pada sektor ekonomi, taraf pendidikan masih sangat kurang.

3. Tingkat Pertambahan Penduduk Sangat Tinggi.

Sesudah PD II masalah pertambahan penduduk sulit dibendung sementara tingkat mortalitas menurun akhirnya menyebabkan pembengkakan penduduk di tiap-tiap Negara. Hal ini menimbulkan beberapa efek yang berikut.

  1. Jumlah tanggungan dalam keluarga semakin meningkat.
  2. Besarnya tanggungan ditambah dengan pekerjaan yang rendah.
  3. Pertambahan tenaga kerja sangat cepat sementara tidak dimbangi dengan pertambahan kesempatan kerja.

4. Kegiatan Ekonomi bersifat “Dualisme”.

Di daerah berkembang pergerakan sektor ekonomi masih terpusat pada pertanian, ada dualisme proses pekerjaan dalam sektor pertanian, sebagai contoh, pertanian masih menggunakan sistem tradisional, sementara perusahaan yang bergerak di bidang pertanian yang lain telah menggunakan peralatan dengan teknologi yang canggih.

5Kegiatan Ekonomi Tetap Terpusat di Sektor Pertanian.

Lebih dari setengah abad Negara berkembang masih saja terpaku pada masalah pertanian, sehingga sektor yang membuka peluang hanya sektor pertanian saja.

6. Bahan mentah Merupakan Ekspor Terpenting.

Setelah penjajahan menimpa Negara berkembang sehingga membentuk kebiasaan untuk menyerahkan hasil bumi kepada Negara maju untuk industry mereka, padahal apabila bahan mentah itu dikelola sendiri mungkin akan berdampak signifikan terhadap Negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang banyak, pada dasarnya Negara berkembang cenderung bersifat konsumtif daripada produktif.

D. Perkembangan Ekonomi Dunia dan Jurang Pembangunan.

Perkembangan ekonomi mulai berkembang pada abad 15 dimana pedagang-pedagang antar benua mulai ramai. Puncaknya terjadi setelah Revolusi Industri di Inggris.

  1. 1. Perkembangan Penduduk, Pendapatan Nasional dan per Kapita.
TAHUN PENDUDUK

DUNIA (JUTA)

PDB DUNIA

(DOLLAR 1990, MILIAR)

PENDAPATAN PER KAPITA PENDUDUK DUNIA (DOLLAR 1990)
0

1000

1500

1820

1870

1913

1950

1973

1995

250

237

425

1.068

1.260

1.772

2.512

3.897

6.672

106

115

240

695

1.128

2.726

5.372

16.064

29.423

425

420

565

651

895

1.539

2.138

4.123

5.188

  1. 2. Jurang Pembangunan Hingga Pertengahan Abad Kedua Puluh.

Perbandingan relatif pendapatan per kapita di Negara-negara baru, Eropa Barat, Daerah Eropa lain, Rusia Tahun 1894-95, 1938, 1949.

DAERAH 1894-95 1938 1949
1 Negara-negara Baru 301 325 628
2 Eropa Barat 186 207 228
3 Daerah Eropa Lainnya 100 100 100
4 Rusia 65 79 142

E. Menelusuri Arti Pembangunan.

  1. Kelemahan pendapatan Per Kapita Sebagai Indeks Tingkat Kesejahteraan.
    1. a. Beberapa Factor Non Ekonomi yang Menentukan Kesejahteraan.

Factor alam dan kebiasaan adat istiadat biasanya membantu kesejahteraan, seperti contoh kehidupan di pedalaman, Pegunungan yang memiliki kondisi wilayah yang baik untuk bercocok tanam.

b. Beberapa Faktor Lain yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan.

  • Komposisi Umur Penduduk.
  • Distribusi Pendapatan Masyarakat.
  • Pola Pengeluaran Masyarakat.
  • Komposisi Pendapatan Nasioanal.
  • Jumlah Masa Lapang yang dinikmati Masyarakat.
  • Perubahan-perubahan dalam Keadaan Pengangguran.

Beberapa Kelemahan Cara Penghitungan Pendapatan Per Kapita.

  Nennehda  NEGARA A NNNNN    NEGARA B
Fhdhdh     Jumlah Harga

Per unit

Nilai Jumlah Harga Per

Unit

Nilai
1. Makanan 200 50 peso 10.000 peso 200 200 dollar 4.000 dollar
2. Pakaian 100 100 peso 10.000 peso 100 25 dollar 2.500 dollar
Produksi Nasional 20.000 peso 6.500 dollar
(a) Dalam nilai

Mata uang

sendiri

(b) Dalam nilai

Mata uang

sendiri

5000 dollar 26.000 dollar

d. Distribusi Pendapatan Dalam Pembangunan Ekonomi.

1) Distribusi Pendapatan Relatif

Untuk menggambarkan distribusi pendapatan relatif di beberapa Negara, dibagi kepada tiga golongan, yaitu:

  • 40% penduduk yang menerima pendapatan paling rendah.
  • 40% penduduk berpendapatan menengah
  • 20% penduduk berpendapatan paling tinggi.

2) Pembangunan Ekonomi dan Pendapatan golongan Miskin

Dalam analisis pembanguna ekonomi, gambaran paling penting yang perlu diperoleh mengenai keadaan distribusi pendapatan adalah cirri-ciri keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan corak perubahan distribusi pendapatan. Dengan menggunakan sata dari 18 negara, diantaranya tiga Negara maju (prancis, Finlandia, dan Kanada) , dan 1 negara Komunis (Bulgaria) dengan cara membandingkan tingakat pertumbuhan dari pendapatan 40% penduduk yang pendapatannya paling rendah dengan tingkat pertumbuhan pendapatan nasional masyarakat tersebut. Di enam Negara yaitu Taiwan, Bulgaria, Iran, Sri Langka, Kolombia, dan Kanada tingkat pertumbuhan pendapatan daro 40 % penduduk berpendapatan terendah melebihi tingkat perumbuhan Produk Nasional Bruto. Di satu Negara yaitu Korea Selatan, tingkat pertumbuhan keduanya adalah sama. Di antara Negara-negara ini, terdapat Negara-negara yang tingkat pembangunan ekonominya cepat, yaitu Taiwan, Bulgaria, Iran dan Korea Selatan.

e. Masalah Pengangguran di Negara Berkembang.

Masalah pengangguran di berbagai Negara berkembang bukanlah sebuah berita baru, karena Negara berkembang memang memiliki masalah dengan pengangguran dikarenakan proses Negara berkembang tidak sejalan dengan perubahan sistem ekonomi, di satu sisi pembangunan ekonomi berpeluang membuka kesempatan kerja, tpi di lain sisi hal ini justru mempersempit pe,luang kerja. Pengangguran justru bertumpuk pada daerah terpencil misalnya di daeran pedesaan. Di daerah pedesaan biasanya pegangguran di bagi kedalam dua kelompok yaitu:

  • Pengangguran Musiman, adalah pengangguran yang hanya terjadi saat masa kerja telah habis disebabkan oleh selesainya suatu proyek.
  • Pengangguran Terselubung, adalah pekerja yang bekerja dengan taraf nilai yang rendah sehingga betapapun kerasnya sebuah pekerjaan tetap saja tidak ada pertambahan nilai dan produksi sehingga tidak mencukupi pendapatan.

  • f. Beberapa Usaha Untuk Menyempurnakan Cara Membandingkan Tingkat Kesejahteraan.

Indeks tingkat kesejahteraan dari masing-masing Negara ditentukan berdasarkan kepada tingkat konsumsi atau jumlah dtok barang dari beberapa jenis barang tertentu yang datanya dapat  diperoleh dengan mudah di Negara berkembang, data tersebut adalah:

  • Jumlah konsumsi baja dalam satu tahun dan dinyatakan dalam kilogram.
  • Jumlah konsumsi semen dalam satu tahun dikalikan 10 dan dinyatakan dalam ton.
  • Jumlah surat dalam negeri dalam satu tahun.
  • Jumlah stok pesawat radio dikalikan 10.
  • Jumlah stok telepon dikalikan 10.
  • Jumlah stok berbagai jenis kendaraan.
  • Jumlah konsumsi daging dalam satu tahun dinyatakan dalam kilogram.

F. Masalah Penduduk dan Implikasinya.

  1. Masalah Penduduk.

Yang menjadi pokok masalah dalam pembangunan adalah tingginya jumlah penduduk dalam satu Negara yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Setiap tahunnya penduduk Negara diperkirakan bertambah sebanyak 100 sampai 120 juta jiwa, dan 80 hingga 90 juta merupakan pertambahan dari Negara berkembang.

  1. Faktor yang Mempercepat Perkembangan Penduduk.

Perkembangan penduduk dunia yang besar jumlahnya tersebut disebabkan oleh:

  • Jumlah Penduduk.
  • Tingkat Pertambahan Penduduk.
  1. Perkembangan Penduduk Setelah Tahun 1970-an

Perhatikan table berikut.

Kelompok

Negara

Pertengahan

Tahun 1976

% Pertengahan Tahun 1988 % 2000 %
LIC

MIC

HIC

2.284

1.080

657

56,8

26,9

16,3

2.784

1.170

784

59,6

24,2

16,2

3.659

1.441

953

60,4

23,9

15,7

JUMLAH 4.021 100 4.838 100 6.053 100
  1. Low Income Coutries (LIC) Negara yang berpendapatan rendah.
  2. Middle Income Countries (MIC) Negara yang berpendapatan menengah.
  3. High Income Countries (HIC) Negara yang berpendapatan tinggi.

G. Faktor-Faktor yang Menimbulkan Tingkat Perkembangan Penduduk yang Cepat.

  1. Tahap-Tahap Perkembangan Penduduk.

Tingkat Kelahiran,

Tingkat Kematian,

Dan Pertambahan Penduduk

Golongan Negara

(Berdasarkan Pendapatan per kapita Tahun 1958)

US$575 atau lebih US$200-US$575 Kurang dari US$200
(untuk setiap 1000 penduduk)
Tahun 1911-1913

Tingkat kelahiran

Tingkat kematian

Pertambah Alami

26,0

22,6

10,8

35,1

22,6

12,5

39,6

27,9

11,7

Tahun 1957-1961

Tingkat Kelahiran

Tingkat Kematian

Pertambahan Alami

19,4

9,9

9,5

32,5

9,0

23,7

38,0

12,1

25,9

H. Struktur Umur Penduduk dan Masalah Pengangguran.

  1. Peningkatan dalam Jumlah Tanggungan.

Masalah yang sering muncul dari tingginya kelahiran adalah meningkatnya jumlah tanggungan setiap keluarga tanpa ada keringanan dari tingginya pendapatan.

  1. Masalah Pengangguran Bertambah Serius.

Perhatikan Tabel berikut.

Proyeksi Tingkat Pertambahan Tenagan Kerja Hingga Tahun 2000 (dalam persen).

Tingkat Pertambahan
1970-1980 1980-1990 1990-2000
Negara-negara Maju

Negara-negara Berkembang

1,1

2,1

0,9

2,4

0,9

2,6-2,8

Asia Selatan

Asia Timur

Afrika

Amerika latin

2,3

1,6

2,2

2,8

2,6

2,1

2,5

3,0

2,9

2,5

2,7

3,3

  1. I. Masalah Perpindahan Penduduk Dari Daerah Pedesaan ke Kota Besar.
  2. 1. Urbanisasi di Negara

Perpindahan penduduk dari desa ke kota tidak selalu berdampak negative seperti halnya yang berlaku di Negara berkembang, perpindahan penduduk desa ke kota bisa membantu pembengunan ekonomi di daerah tersebut, karena apabila penduduk tetap menetap disuatu wilayah maka penduduk tersebut hanya akan menambah beban tenaga kerja diwilayah itu tapi apabila mereka berpindah tempat tentu masih banyak pekerjaan di daerah kota yang dapat mereka lakukan.

2. Urbanisasi di Negara Berkembang.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota yang terjadi di Negara berkembang tidak sama halnya seperti di Negara Maju, hal ini di tengarai oleh tingginya angka urbanisasi yang menyebabkan penuhnya penduduk di suatu kota tanpa di imbangi dengan kesempatan lapangan kerja yang memadai.

3. Masalah Pengangguran di Kota-kota Besar.

Pengangguran di kota- kota besar berdampak buruk seiring laju pertumbuhan yang melebihi kapasitas pekerjaan, sehingga selain bertambahnya pengangguran di desa-desa demikian juga di kota-kota sehingga berdampak terhadap kemajuan ekonomi dalam pembangunan ekonomi.

 

Masalah-Masalah dalam Pembangunan Daerah

oleh: Agus Adhary


A. Tujuan Pembangunan Daerah.
Dalam rangka memajukan pembangunan nasional maka diperlukan kesejahteraan yang merata disetiap daerah, maka dari itu dibentuklah sebuah sistem yang disebut Otonomi Daerah yang diharapkan dapat memajukan daerah masing-masing sehingga dapat mengelola daerah demi kepentingan masyarakatnya.
Dalam praktiknya tetap saja Otonomi Daerah yang selanjutnya disebut desentralisasi ini tidak menghasilkan sebuah jalan keluar yang signifikan untuk memajukan daerah, bisa dilihat dalam pasal dibawah ini pada BAB I poin “h”:
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Semua landasan tentang pembangunan daerah diberikan pada daerah untuk mengatur dan mengurus semua hal demi kepentingan masyarakat, tapi lihat kalimat yang bergaris bawah diatas terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat tidak memberikan kewenangan karena diatur oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Dalam hal ini sebenarnya pemerintah pusat hanya memberikan symbol tentang Otonomi Daerah tapi dalam tatanan teknis pemerintah pusat tetap tidak mau melepaskan secara mutlak Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dirinya. Dalam pasal lain tentang kewengangan daerah terlihat jelas control pusat yang cukup luas sehingga membuat Pemerintah Daerah tidak dapat memajukan daerahnya karena seluruh aspek yang prosfektif didominasi pemerintah pusat, lihat pasal 7 ayat 1 dan 2 dibawah ini:
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
Hampir seluruh dari sistem yang selayaknya dibangun oleh Pemerintah Daerah diambil alih oleh Pemerintah Pusat sehingga pemerintah daerah hanya menjadi sapi perah bagi pemerintah pusat dengan memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) sedangkan Sumber Daya Alam (SDA) seluruhnya milik Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat, lihat pasal 10 ayat 1:
Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Hal ini memunculkan sebuah isu bahwa Pemerintah Pusat ingin tetap menguasai daerah dibawah selogan Otonomi Daerah. Seandainya dalam pembangunan daerah, pemerintah daerah mengatur semua kepentingan daerahnya tentu daerah tersebut akan lebih maju dan pembangunan akan cepat merata, sebagai contoh Papua yang memiliki tambang Emas yang bernilai andai saja pemerintah daerah Papua mengelola tambang tersebut mungkin sekarang penduduk daerah tersebut lebih metropolitan dibandingkan dengan Jakarta yang tidak memiliki sumber daya alam. Dalam pasal 33 UUD jelas pemerintah mendominasi seluruh aspek yang prosfektif pada daerah;

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Daerah tidak diberikan wewenang pembangun cabang produksi yang menguasai hajat hidup seperti dalam bidang pangan, air bersih, dll seluruhnya dikuasai oleh Negara. Pada alinea paragraph berikut akan ditampilkan pajak-pajak yang dipungut oleh daerah.
PAJAK PROVINSI
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

PAJAK KOTA/KABUPATEN

1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan
7. Pajak Parkir.

Sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak atau retribusi. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, setiap pungutan yang membebani masyarakat baik berupa pajak atau retribusi harus diatur dengan Undang- Undang (UU).
Sumber hukumnya adalah UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah; dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Pada table diatas terlihat bahwa pemerintah daerah hanya mengambil sebagian pajak yang kurang prosfektif untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicita-citakan sementara Pemerintah Pusat mendominasi seluruh kebijakan yang sebaiknya dilakukan pemerintah daerah.

KONSTITUSI SEBAGAI PEMBATAS KEKUASAAN

Agus Adhari, Ilmal, Faidi, Resma, Gugun

A. Latar Belakang
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis “constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukkan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Sementara itu, istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah dari Bahasa Belandanya “grondwet”. Perkataan “wet” diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Undang-Undang, dan “grond” berarti tanah/dasar.
Di Negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai Bahasa nasional, dipakai istilah “constitution” yang dalam Bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah “constitution” merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Beberapa ahli hukum mencoba memberikan pendapatnya mengenai pengertian, baik itu pengertian dari konstitusi maupun pengertian dari Undang-Undang Dasar. K.C Wheare menggambarkan “konstitusi” konsep yang luas dan sempit, yang membedakan “konstitusi” dengan “Undang-Undang Dasar”. “Konstitusi” meliputi hukum dasar tertulis dan tidak tertulis, baik aturan yang legal (aturan hukum) maupun yang non-legal atau extra legal (persetujuan, kebiasaan, dan konvensi ketatanegaraan). Dalam arti sempit “konstitusi” (dapat dikatakan sama dengan Undang-Undang Dasar) adalah peraturan-peraturan hukum dasar yang mengatur pemerintahan negara dan telah diwujudkan dalam sebuah dokumen.
C.F Strong, memberikan pengertian terhadap konstitusi adalah himpunan prinsip-prinsip atau asas-asas menurut kekuasaan pemerintah dan hak-hak rakyat serta hubungan antara keduanya itu diatur. Melalui definisi ini, C.F Strong memahami konstitusi merupakan asas-asas fundamental yang mengatur kekuasaan lembaga-lembaga Negara di satu pihak, dan di pihak lain mengatur pula hak-hak rakyat yang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia, serta bagaimana mengatur hubungan vertical antara yang memerintah dan yang diperintah, sehingga hubungan keduanya berjalan harmonis.
James Bryce, yang banyak dikutip oleh ahli-ahli konstitusi abad ke-20 mengemukakan, konstitusi merupakan bingkai kekuasaan Negara (masyarakat yang terorganisasi secara politik). Dengan demikian konstitusi sebagai aturan hukum dasar menetapkan adanya lembaga-lembaga negara permanen atau regular (bersifat tetap) disertai fungsi, tugas, dan wewenang lembaga-lembaga negara tersebut.
Berangkat dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Adapun batasan-batasannya dapat dirumuskan ke dalam pengertian sebagai berikut, yaitu : (1) suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa; (2) suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik; (3) suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara; (4) suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.
Kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan peranannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan ideologi, seperti individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi, dan sebagainya. Selanjutnya, kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang melandasi Negara.
Dalam sejarahnya di dunia barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan Negara, dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.
Di Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.
Hampir semua negara memiliki konstitusi. Dapat dikatakan konstitusi yang ada di negara-negara tersebut memiliki materi muatan atau menggambarkan keberadaan suatu pembagian dan pembatasan kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/Undang-Undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/Undang-Undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu Negara harus ada pemisahan kekuasaan antar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power).
Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Dalam pengertian demikian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.

A. Aspek Historis Konstitusi
Berbicara tentang konstitusi sebagai pembatasan kekuasaan, dalam konteks sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari gagasan konstitusionalisme atau tentang konsep Negara hukum pada zaman klasik. Gagasan pemikiran tersebut merupakan sebuah proses dan evolusi sejarah yang sangat panjang, sehingga untuk mengetahui lebih dalam perlu dikemukan terlebih dahulu bagaimana proses dan evolusi itu terjadi.
Teori Negara berdasarkan hukum secara asensi bermakna bahwa hukum adalah “supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara Negara atau pemeritahan utuk tunduk pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law), semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).
Jika dirunut ke atas, pemikiran tentang Negara hukum merupakan sebuah proses dari evolusi sejarah yang sangat panjang, sehingga untuk mengetahui lebih dalam perlu dikemukakan terlebih dahulu bagaimana proses dan evolusi itu terjadi. Pada awalnya cita Negara hukum dikembangkan dari hasil pemikiran Plato yang diteruskan oleh Aristoteles. Plato yang prihatin terhadap Negaranya yang saat itu dipimpin oleh orang-orang dengan kesewenangan mendorongnya untuk menulis sebuah buku yang berjudul Politea. Menurutnya, agar Negara menjadi baik, maka pemimpin Negara harus diserahkan kepada filosof, sebab filosof biasanya manusia bijaksana, menghargai kesusilaan dan berpengetahuan tinggi. Namun hal ini tidak pernah dapat dilaksanakan, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Atas dasar itu, plato menulis buku keduanya yang berjudul Politicos, yang mana dalam buku ini Plato menganggap perlu adanya hukum untuk mengatur warga Negara, termasuk di dalamnya adalah penguasa. Selanjutnya dalam bukunya yang ketiga, Nomoi (the law) yang dihasilkan ketika usianya sudah lanjut dan sudah banyak pengalaman, Plato mengemukakan idenya bahwa penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Aristoteles kemudian melanjutkan ide ini. Menurutnya, suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Hal ini termuat dalam karyanya yang berjudul Politica. Ia juga mengemukakan bahwa ada tiga unsure dari pemerintah berkonstitusi, yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemeritahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan seperti yang dilaksanakan pemerintahan despotis. Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Aristoteles ini dapat ditemukan di semua Negara hukum. Dalam bukunya, Politica, Aristoteles mengatakan:
“konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatau Negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan-aturan tersebut”.
Ide tentang Negara hukum ini menghilang serta ditinggalkan orang, dan kembali muncul di Barat pada awal abad XVII. Timbulnya kembali pemikiran tentang Negara hukum ini disebabkan karena kondisi dan situasi yang kurang lebih sama dengan kondisi dan situasi yang ada pada saat Plato dan Aristoteles mengemukakan ide tentang Negara hukum, yaitu merupakan reaksi terhadap kekuasaan yang absolut, sewenang-wenang. Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XVII ini, merupakan embrio konsep Negara hukum yang ada di abad XIX makin berkembang dan mengilhami pemikiran John Locke, Montesquieu , Rousseau.
Inti gagasan yang ditawarkan John Locke adalah bertujuan menjamin hak-hak asasi warga Negara, penyelenggaraan Negara berdasarkan atas hukum, adanya pemisahan kekuasaan Negara demi kepentingan umum, supremasi kekuasaan yang membentuk undang-undang yang tergantung pada kepentingan rakyat. Montesquieu adalah orang yag melanjutkan dan mengembangkan idenya Jhon Locke tentang pemisahan kekuasaan. Sedangkan gagasan Rousseau dengan teori kontrak sosialnya, menyiratkan bahwa baik pembentukan lembaga atau oprasionalnya ditentukan oleh hukum.

B. Konstitusi sebagai Pembatasan dan Pemisahan Kekuasaan
Keberadaan konstitusi sebagai hukum dasar bagi keberlangsungan sebuah Negara tidak dapat dianggap sederhana karena konstitusi akan memberikan rule of game di Negara tersebut. Dibanyak Negara, konstitusi dianggap sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengontrol pemerintah agar tidak berlaku sewenang-wenang dan melampaui batas kewenangannya. Konstitusi muncul dari sebuah keyakinan akan pemerintahan yang terbatas, meskipun setiap negara mempunyai aturan dan batasan-batasan tersendiri mengenai hal apa yang hendak ditetapkan. Namun apapun sifat dan berapapun luas konstitusi itu semuanya akan bermuara pada kesejahteraan bersama.
Sifat pembatasan yang hendak ditetapkan pada sebuah pemerintahan dan dimana tingkat konstitusi lebih tinggi dari pemerintah bergantung pada sasaran yang hendak dicapai oleh para pembuat konstitusi. Pada titik inilah peran dari seluruh warga negara untuk merumuskan segala aturan-aturan yang harus dituangkan dalam sebuah konstitusi tertulis yang pada akhirnya akan menjadi hukum dasar bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, para pembuat konstitusi ingin meyakinkan bahwa konstitusi tidak dapat diubah begitu saja atau secara sembarangan atau dengan alasan yang tidak jelas.
Pada dasarnya konstitusi memberikan wewenang bagi para aparatur negara terutama eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mengatur jalannya roda pemerintahan. Para pembuat konstitusi merasa bahwa jenis hubungan tertentu antara eksekutif dan legislatif adalah penting atau bahwa yudikatif harus dijamin mempunyai tingkat kemandirian tertentu terhadap legislatif dan eksekutif atau ada hak-hak yang harus dimiliki oleh warga negara dan tidak boleh dilanggar atau dihapuskan oleh eksekutif dan legislatif serta masih banyak lagi hal-hal yang mesti diatur dalam sebuah konstitusi secara tertulis yang memberikan perlindungan pada setiap warga negara meskipun tingkat pembatasan itu beragam dari satu kasus dengan kasus lain.
Apapun sifat konstitusi yang ada disuatu Negara, ia harus berisi hal-hal minimum yang harus ada untuk memberikan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Hal-hal minimum dan merupakan ketentuan hukum menurut Sri Soemantri harus berisi tiga hal pokok yaitu:

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga fundamental.
Begitu pentingnya pembatasan tugas dan wewenang dari aparat negara sehingga menurut Sri Soemantri hal itu tidak boleh dihilangkan dalam sebuah konstitusi karena pembatasan tersebut akan memberikan kejelasan siapa yang akan bertanggung jawab untuk menjalankan tugas tersebut. Terkait dengan pembatasan kekuasaan, menurut Cheryl Saunder salah satu substansi konstitusi adalah mengatur secara tegas prinsip-prinsip lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintahan di Negara kita (indonesia) dalam hal ini adalah eksekutif agar terwujud negara yang konstitusional.
Negara konstitusional digambarkan sebagai lembaga negara dengan fungsi normatif tertentu, yakni perlindungan bagi hak-hak asasi manusia serta pengendalian dan pembagian kekuasaan. Eric Brendt dalam buku An Introduction to Constitutional Law mengatakan konstitusionalisme merupakan suatu paham yang membatasi tugas pemerintah melalui suatu konstitusi. Ahli konstitusi Jepang, Naoki Kaboyasi mengatakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar memiliki tujuan merumuskan cara untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak rakyat.
Pembagian dan pembatasan tugas untuk mengatur jalannya pemerintahan akan akan terlaksana dengan baik jika saja ada keseimbangan kekuasaan secara proporsional antara para aparatur negara. Pembagian dan pembatasan tugas ini oleh Montesquieu dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu:
1. Legislatif, pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
2. Yudikatif, pemegang kekuasaan dibidang kehakiman.
3. Eksekutif, pemegang kekuasaan dibidang pemerintahan.
Negara hukum yang demokratis akan memegang tiga prinsip ini, tapi yang terpenting adalah ketiga lembaga kekuasaan ini mampu merealisasikan terciptanya konstitusi yang berkedaulatan.
Aturan-aturan hukum dasar yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar sering kali berisi aturan-aturan pokok yang yang bukan saja tidak rinci tetapi juga sering kali menimbulkan makna ganda. Padahal konstitusi sebagai norma hukum yang tertinggi akan mempengaruhi pembentukan dan pembaruan hukum yang lebih rendah terutama pengaturan tentang kekuasaan yang dibebankan kepada lembaga negara agar jelas dan tidak tumpang tindih antara lembaga satu dengan lembaga yang lainnya.
Konstitusi adalah resultante atau kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat pada waktu tertentu yang jika situasi dan kondisi berubah, konstitusipun bisa berubah bahkan harus berubah. Tak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya karena keadaan tidak akan pernah sama antara sekarang dan yang akan datang.
Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechstaat)—keduanya sebenarnya konsep yang tidak sama—ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental. Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut.
Justifikasi nyata konstitusi, gagasan awal yang mendasarinya adalah membatasi pemerintahan dan menuntut orang-orang yang berkuasa untuk mematuhi hukum dan peraturan. Sebagian besar konstitusi memang bermaksud membatasi pemerintah. Dalam pernyataan K.C. Wheare, sebuah Negara tidak mempunyai pemerintahan konstitusional hanya karena konstiusinya nampaknya tidak menerapkan pembatasan pada pemerintah.
Tidak dengan sendirinya Negara yang kehidupan kenegaraannya berdasarkan undang-undang dasar berarti negara konstitusional. Undang-undang dasar yang menempatkan semua kekuasaan di tangan seorang pemimpin untuk digunakan menurut kehendaknya seperti dalam “prinsip Fuhrer mutlak” sebagaimana dikehendaki Soepomo, tentu tidak membentuk Negara konstitusional. Pendapat tersebut lahir dari Adnan Buyung Nasution, yang dengan tegas memisahkan konstitusi, konstitusional dengan konstitusionalisme. Maknanya, undang-undang dasar yang tidak ada pembatasan terhadap kekuasaan justru mengingkari paham dibalik konstitusi atau pemikiran dibalik adanya sebuah Undang-Undang Dasar, pemikiran seperti itu merupakan pengingkaran atas asas konstitusionalisme.
Dengan kata lain, yang menjadi jaminan pelaksanaan Undang-undang dasar secara konstitusional atau sejalan dengan bunyi ketentuan dan jiwa naskah konstitusi, yaitu terletak pada kesadaran dan semangat para penyelenggara negara itu sendiri. sebab bagaimanapun baiknya konstitusi, tetapi kalau penyelenggaranya tidak mempunyai kesadaran dan semangat yang tinggi tercapainya tujuan negara, maka konstitusi tersebut tidak akan memberi arti banyak bagi kelangsungan hidup bernegara.
Dalam pandangan Jimly Asshidiqie, semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Constitutions menurut Ivo D Duchacek, “identify the sources, purposes, uses and restrains of public power” (mengidentifikasikan sumber, tujuan penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Karena itu pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitusionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich, didefinisikan sebagai “an institutionalised system of effective, regularised restraints upon governmental action” (suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan). Maka, persoalan utama dalam setiap konstitusi adalah mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
A Hamid S Attamimi, menyimpulkan pentingnya suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Hal ini pada hakekatnya ialah tata cara yang oleh Peter Badura disebut tata cara menurut konstitusi (die verfassungsmaszige Ordnung).
Menurut Maurice Duverger, ada tiga macam upaya untuk melaksanakan pembatasan kekuasaan penguasa. Tiga macam usaha tersebut adalah:
1. Usaha yang pertama ditujuakan untuk melemahkan dan membatasi kekuasaan penguasa dengan secara langsung. Dalam usaha ini terdapat tiga macam cara yang umum dipergunakan, yaitu:
a. Pemilihan para penguasa.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilihan para penguasa oleh rakyat yang akan diperintah, itu merupakan salah satu cara yang paling mudah dan praktis untuk melaksanakan dan mencapai maksud dari prinsip pembatasan kekuasaan penguasa. Namun dengan catatan bahwa pemilihan tersebut disertai dengan syarat-syarat yang bebas dan dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pembagian kekuasaan
Menurut Maurice Duverger, salah satu cara yang baik untuk membatasi atau melemahkan kekuasaan penguasa, dengan maksud untuk mencegah agar para penguasa itu jangan sampai menyalahgunakan kekuasaannya atau bertindak sewenang-wenang dengan melebarkan cengkeraman totaliternya atas rakyat. ajaran Montesqquieu:”kekuasaan membatasi kekuasaan”. Namun Duverger memberikan catatan, hendaknya pembagian kekuasaan dipahami dalam pengertian yang luas, maksudnya tidak saja dalam arti pemisahan kekuasaan menurut tipe Trias Politika klasik.
c. Kontrol yurisdiksional
Maksudnya adalah adanya peraturan-peraturan hukum yang menentukan hak-hak atau kekuasaan-kekuasaan, yang pelaksanaannya diawasi dan dilindungi oleh organ-organ pengadilan dari lembaga-lembaga lainnya dengan tujuan membatasi kekuasaan penguasa. Juga memberikan kekuasaan kepada lembaga pengadilan untuk mengontrol, mengatur serta mengendalikan lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga administrasi. Suatu kontrol yurisdiksional yang sempurna menurut Maurice Duverger harus meliputi dua hal. Pertama, kontrol atas syah atau tidaknya tindakan-tindakan badan eksekutif, agar tercegah timbulnya pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang. Kedua, kontrol agar Undang-Undang dan peraturan-peraturan hukum lainnya tidak menyimpang dari Undang-Undang dasar atau konstitusi. Ini adalah salah satu cara untuk menjaga agar parlemen—dimaksudkan badan pembuat undang-undang, tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar atau konstitusi, dan pernyataan hak-hak asasi warga negara.
2. Usaha yang kedua untuk membatasi kekuasaan penguasa adalah dengan menambah atau memperkuat kekuasaan pihak yang diperintah. Jadi ada daya kesanggupan rakyat untuk menolak pengaruh-pengaruh dari penguasa yang bisa melemahkan rakyat. Yang dimaksud oleh Maurice Duverger dengan hal ini adalah apa yang dinamakan kekuasaan pribadi. Misalnya saja, perkumpulan-perkumpulan, pers dsb.
3. Usaha yang ketiga dalam melakanakan pembatasan kekuasaan penguasa, dengan mengusahkan adanya semacam intervensi oleh penguasa dari masyarakat atau negara yang lain, dan intervensi ini harus dilakukan secara timbal balik. Usaha ini disebut pengendalian atau pembatasan secara federalisme. Ini pada asasnya terjadi pada pembatasan penguasa, oleh penguasa, oleh penguasa lain, di dalam menjalankan kekuasaan atas bangsa yang dikuasainya. Usaha ini dapat dibedakan dalam dua cara. Pertama, pembatasan kekuasaan penguasa secara federalisme yang bersifat intern, atau dalam negeri. Kedua, pembatasan kekuasaan penguasaa yang diselenggarakan oleh pengawasan internasi

A. Kesimpulan.
Konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan pemerintah karena pada dasarnya konstitusi dibuat adalah untuk kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya konstitusi memberikan wewenang bagi para aparatur negara terutama eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mengatur jalannya roda pemerintahan. Para pembuat konstitusi merasa bahwa jenis hubungan tertentu antara eksekutif dan legislatif adalah penting atau bahwa yudikatif harus dijamin mempunyai tingkat kemandirian tertentu terhadap legislatif dan eksekutif atau ada hak-hak yang harus dimiliki oleh warga negara dan tidak boleh dilanggar atau dihapuskan oleh eksekutif dan legislatif serta masih banyak lagi hal-hal yang mesti diatur dalam sebuah konstitusi secara tertulis yang memberikan perlindungan pada setiap warga negara meskipun tingkat pembatasan itu beragam dari satu kasus dengan kasus lain
Sifat pokok konstitusi negara adalah fleksibel (luwes) dan rigit (kaku). Konstitusi negara memiliki sifat fleksibel / luwes apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan sewaktu-waktu sesuai perkembangan jaman /dinamika masyarakatnya. Sedangkan konstitusi negara dikatakan rigit kaku apabila konstitusi itu sulit untuk diubah kapanpun.
Fungsi pokok konstitusi adalah membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Pemerintah sebagai suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, terkait oleh beberapa pembatasan dalam konstitusi negara sehigga menjamin bahwa kekuasaan yang dipergunakan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan.
Dengan demikian diharapkan hak-hak warganegara akan terlindungi.
Sesuai dengan istilah konstitusi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diarti kan sebagai:
1) Segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan. 2) Undang-undang Dasar suatu Negara. Berdasarkan pengertian tersebut, konstitusi merupakan tonggak atau awal terbentuknya suatu negara dan menjadi dasar utama bagi penyelenggara negara. Oleh sebab itu, konstitusi menempati posisi penting dan strategis dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Konstitusi juga menjadi tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu sekaligus memuat ide-ide dasar yang digariskan oleh pendiri negara ( the founding fathers ). Konstitusi memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan Negara menuju tujuannya

DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Atmadja, I. Dewa Gede, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Malang: Setara Press, 2010.

Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Jakarta: Disertasi UI, 1990.

Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya,
Jakarta: UI-Press, 1995.

Chaidir, Ellydar, Hubungan Tata Kerja Presiden dan wakil Presiden, Perspektif Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2001).

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Huda, Ni’matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Malian, Sobirin, Gagasan Perluya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, Yogyakarta: UII Press, 2001.

MD, Mahfud, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1995.

Soehino SH, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-undang (PERPU), Malang: UMM Press, 2002.

Syahuri, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi ( Proses Dan Prosedur Perubahan UUD Di Indonesia 1945-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia), Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, 2008.

Wheare , K.C., Konstitusi-Konsitusi Modern, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!