KONSTITUSI SEBAGAI PEMBATAS KEKUASAAN

Agus Adhari, Ilmal, Faidi, Resma, Gugun

A. Latar Belakang
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis “constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukkan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Sementara itu, istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah dari Bahasa Belandanya “grondwet”. Perkataan “wet” diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Undang-Undang, dan “grond” berarti tanah/dasar.
Di Negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai Bahasa nasional, dipakai istilah “constitution” yang dalam Bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah “constitution” merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Beberapa ahli hukum mencoba memberikan pendapatnya mengenai pengertian, baik itu pengertian dari konstitusi maupun pengertian dari Undang-Undang Dasar. K.C Wheare menggambarkan “konstitusi” konsep yang luas dan sempit, yang membedakan “konstitusi” dengan “Undang-Undang Dasar”. “Konstitusi” meliputi hukum dasar tertulis dan tidak tertulis, baik aturan yang legal (aturan hukum) maupun yang non-legal atau extra legal (persetujuan, kebiasaan, dan konvensi ketatanegaraan). Dalam arti sempit “konstitusi” (dapat dikatakan sama dengan Undang-Undang Dasar) adalah peraturan-peraturan hukum dasar yang mengatur pemerintahan negara dan telah diwujudkan dalam sebuah dokumen.
C.F Strong, memberikan pengertian terhadap konstitusi adalah himpunan prinsip-prinsip atau asas-asas menurut kekuasaan pemerintah dan hak-hak rakyat serta hubungan antara keduanya itu diatur. Melalui definisi ini, C.F Strong memahami konstitusi merupakan asas-asas fundamental yang mengatur kekuasaan lembaga-lembaga Negara di satu pihak, dan di pihak lain mengatur pula hak-hak rakyat yang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia, serta bagaimana mengatur hubungan vertical antara yang memerintah dan yang diperintah, sehingga hubungan keduanya berjalan harmonis.
James Bryce, yang banyak dikutip oleh ahli-ahli konstitusi abad ke-20 mengemukakan, konstitusi merupakan bingkai kekuasaan Negara (masyarakat yang terorganisasi secara politik). Dengan demikian konstitusi sebagai aturan hukum dasar menetapkan adanya lembaga-lembaga negara permanen atau regular (bersifat tetap) disertai fungsi, tugas, dan wewenang lembaga-lembaga negara tersebut.
Berangkat dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis. Adapun batasan-batasannya dapat dirumuskan ke dalam pengertian sebagai berikut, yaitu : (1) suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa; (2) suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik; (3) suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara; (4) suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia.
Kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan peranannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan ideologi, seperti individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi, dan sebagainya. Selanjutnya, kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang melandasi Negara.
Dalam sejarahnya di dunia barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan Negara, dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.
Di Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.
Hampir semua negara memiliki konstitusi. Dapat dikatakan konstitusi yang ada di negara-negara tersebut memiliki materi muatan atau menggambarkan keberadaan suatu pembagian dan pembatasan kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/Undang-Undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/Undang-Undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu Negara harus ada pemisahan kekuasaan antar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power).
Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Dalam pengertian demikian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.

A. Aspek Historis Konstitusi
Berbicara tentang konstitusi sebagai pembatasan kekuasaan, dalam konteks sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari gagasan konstitusionalisme atau tentang konsep Negara hukum pada zaman klasik. Gagasan pemikiran tersebut merupakan sebuah proses dan evolusi sejarah yang sangat panjang, sehingga untuk mengetahui lebih dalam perlu dikemukan terlebih dahulu bagaimana proses dan evolusi itu terjadi.
Teori Negara berdasarkan hukum secara asensi bermakna bahwa hukum adalah “supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara Negara atau pemeritahan utuk tunduk pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law), semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).
Jika dirunut ke atas, pemikiran tentang Negara hukum merupakan sebuah proses dari evolusi sejarah yang sangat panjang, sehingga untuk mengetahui lebih dalam perlu dikemukakan terlebih dahulu bagaimana proses dan evolusi itu terjadi. Pada awalnya cita Negara hukum dikembangkan dari hasil pemikiran Plato yang diteruskan oleh Aristoteles. Plato yang prihatin terhadap Negaranya yang saat itu dipimpin oleh orang-orang dengan kesewenangan mendorongnya untuk menulis sebuah buku yang berjudul Politea. Menurutnya, agar Negara menjadi baik, maka pemimpin Negara harus diserahkan kepada filosof, sebab filosof biasanya manusia bijaksana, menghargai kesusilaan dan berpengetahuan tinggi. Namun hal ini tidak pernah dapat dilaksanakan, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Atas dasar itu, plato menulis buku keduanya yang berjudul Politicos, yang mana dalam buku ini Plato menganggap perlu adanya hukum untuk mengatur warga Negara, termasuk di dalamnya adalah penguasa. Selanjutnya dalam bukunya yang ketiga, Nomoi (the law) yang dihasilkan ketika usianya sudah lanjut dan sudah banyak pengalaman, Plato mengemukakan idenya bahwa penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Aristoteles kemudian melanjutkan ide ini. Menurutnya, suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Hal ini termuat dalam karyanya yang berjudul Politica. Ia juga mengemukakan bahwa ada tiga unsure dari pemerintah berkonstitusi, yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemeritahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan seperti yang dilaksanakan pemerintahan despotis. Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Aristoteles ini dapat ditemukan di semua Negara hukum. Dalam bukunya, Politica, Aristoteles mengatakan:
“konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatau Negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan-aturan tersebut”.
Ide tentang Negara hukum ini menghilang serta ditinggalkan orang, dan kembali muncul di Barat pada awal abad XVII. Timbulnya kembali pemikiran tentang Negara hukum ini disebabkan karena kondisi dan situasi yang kurang lebih sama dengan kondisi dan situasi yang ada pada saat Plato dan Aristoteles mengemukakan ide tentang Negara hukum, yaitu merupakan reaksi terhadap kekuasaan yang absolut, sewenang-wenang. Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XVII ini, merupakan embrio konsep Negara hukum yang ada di abad XIX makin berkembang dan mengilhami pemikiran John Locke, Montesquieu , Rousseau.
Inti gagasan yang ditawarkan John Locke adalah bertujuan menjamin hak-hak asasi warga Negara, penyelenggaraan Negara berdasarkan atas hukum, adanya pemisahan kekuasaan Negara demi kepentingan umum, supremasi kekuasaan yang membentuk undang-undang yang tergantung pada kepentingan rakyat. Montesquieu adalah orang yag melanjutkan dan mengembangkan idenya Jhon Locke tentang pemisahan kekuasaan. Sedangkan gagasan Rousseau dengan teori kontrak sosialnya, menyiratkan bahwa baik pembentukan lembaga atau oprasionalnya ditentukan oleh hukum.

B. Konstitusi sebagai Pembatasan dan Pemisahan Kekuasaan
Keberadaan konstitusi sebagai hukum dasar bagi keberlangsungan sebuah Negara tidak dapat dianggap sederhana karena konstitusi akan memberikan rule of game di Negara tersebut. Dibanyak Negara, konstitusi dianggap sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengontrol pemerintah agar tidak berlaku sewenang-wenang dan melampaui batas kewenangannya. Konstitusi muncul dari sebuah keyakinan akan pemerintahan yang terbatas, meskipun setiap negara mempunyai aturan dan batasan-batasan tersendiri mengenai hal apa yang hendak ditetapkan. Namun apapun sifat dan berapapun luas konstitusi itu semuanya akan bermuara pada kesejahteraan bersama.
Sifat pembatasan yang hendak ditetapkan pada sebuah pemerintahan dan dimana tingkat konstitusi lebih tinggi dari pemerintah bergantung pada sasaran yang hendak dicapai oleh para pembuat konstitusi. Pada titik inilah peran dari seluruh warga negara untuk merumuskan segala aturan-aturan yang harus dituangkan dalam sebuah konstitusi tertulis yang pada akhirnya akan menjadi hukum dasar bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, para pembuat konstitusi ingin meyakinkan bahwa konstitusi tidak dapat diubah begitu saja atau secara sembarangan atau dengan alasan yang tidak jelas.
Pada dasarnya konstitusi memberikan wewenang bagi para aparatur negara terutama eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mengatur jalannya roda pemerintahan. Para pembuat konstitusi merasa bahwa jenis hubungan tertentu antara eksekutif dan legislatif adalah penting atau bahwa yudikatif harus dijamin mempunyai tingkat kemandirian tertentu terhadap legislatif dan eksekutif atau ada hak-hak yang harus dimiliki oleh warga negara dan tidak boleh dilanggar atau dihapuskan oleh eksekutif dan legislatif serta masih banyak lagi hal-hal yang mesti diatur dalam sebuah konstitusi secara tertulis yang memberikan perlindungan pada setiap warga negara meskipun tingkat pembatasan itu beragam dari satu kasus dengan kasus lain.
Apapun sifat konstitusi yang ada disuatu Negara, ia harus berisi hal-hal minimum yang harus ada untuk memberikan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Hal-hal minimum dan merupakan ketentuan hukum menurut Sri Soemantri harus berisi tiga hal pokok yaitu:

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga fundamental.
Begitu pentingnya pembatasan tugas dan wewenang dari aparat negara sehingga menurut Sri Soemantri hal itu tidak boleh dihilangkan dalam sebuah konstitusi karena pembatasan tersebut akan memberikan kejelasan siapa yang akan bertanggung jawab untuk menjalankan tugas tersebut. Terkait dengan pembatasan kekuasaan, menurut Cheryl Saunder salah satu substansi konstitusi adalah mengatur secara tegas prinsip-prinsip lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintahan di Negara kita (indonesia) dalam hal ini adalah eksekutif agar terwujud negara yang konstitusional.
Negara konstitusional digambarkan sebagai lembaga negara dengan fungsi normatif tertentu, yakni perlindungan bagi hak-hak asasi manusia serta pengendalian dan pembagian kekuasaan. Eric Brendt dalam buku An Introduction to Constitutional Law mengatakan konstitusionalisme merupakan suatu paham yang membatasi tugas pemerintah melalui suatu konstitusi. Ahli konstitusi Jepang, Naoki Kaboyasi mengatakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar memiliki tujuan merumuskan cara untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak rakyat.
Pembagian dan pembatasan tugas untuk mengatur jalannya pemerintahan akan akan terlaksana dengan baik jika saja ada keseimbangan kekuasaan secara proporsional antara para aparatur negara. Pembagian dan pembatasan tugas ini oleh Montesquieu dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu:
1. Legislatif, pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
2. Yudikatif, pemegang kekuasaan dibidang kehakiman.
3. Eksekutif, pemegang kekuasaan dibidang pemerintahan.
Negara hukum yang demokratis akan memegang tiga prinsip ini, tapi yang terpenting adalah ketiga lembaga kekuasaan ini mampu merealisasikan terciptanya konstitusi yang berkedaulatan.
Aturan-aturan hukum dasar yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar sering kali berisi aturan-aturan pokok yang yang bukan saja tidak rinci tetapi juga sering kali menimbulkan makna ganda. Padahal konstitusi sebagai norma hukum yang tertinggi akan mempengaruhi pembentukan dan pembaruan hukum yang lebih rendah terutama pengaturan tentang kekuasaan yang dibebankan kepada lembaga negara agar jelas dan tidak tumpang tindih antara lembaga satu dengan lembaga yang lainnya.
Konstitusi adalah resultante atau kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat pada waktu tertentu yang jika situasi dan kondisi berubah, konstitusipun bisa berubah bahkan harus berubah. Tak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya karena keadaan tidak akan pernah sama antara sekarang dan yang akan datang.
Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechstaat)—keduanya sebenarnya konsep yang tidak sama—ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental. Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut.
Justifikasi nyata konstitusi, gagasan awal yang mendasarinya adalah membatasi pemerintahan dan menuntut orang-orang yang berkuasa untuk mematuhi hukum dan peraturan. Sebagian besar konstitusi memang bermaksud membatasi pemerintah. Dalam pernyataan K.C. Wheare, sebuah Negara tidak mempunyai pemerintahan konstitusional hanya karena konstiusinya nampaknya tidak menerapkan pembatasan pada pemerintah.
Tidak dengan sendirinya Negara yang kehidupan kenegaraannya berdasarkan undang-undang dasar berarti negara konstitusional. Undang-undang dasar yang menempatkan semua kekuasaan di tangan seorang pemimpin untuk digunakan menurut kehendaknya seperti dalam “prinsip Fuhrer mutlak” sebagaimana dikehendaki Soepomo, tentu tidak membentuk Negara konstitusional. Pendapat tersebut lahir dari Adnan Buyung Nasution, yang dengan tegas memisahkan konstitusi, konstitusional dengan konstitusionalisme. Maknanya, undang-undang dasar yang tidak ada pembatasan terhadap kekuasaan justru mengingkari paham dibalik konstitusi atau pemikiran dibalik adanya sebuah Undang-Undang Dasar, pemikiran seperti itu merupakan pengingkaran atas asas konstitusionalisme.
Dengan kata lain, yang menjadi jaminan pelaksanaan Undang-undang dasar secara konstitusional atau sejalan dengan bunyi ketentuan dan jiwa naskah konstitusi, yaitu terletak pada kesadaran dan semangat para penyelenggara negara itu sendiri. sebab bagaimanapun baiknya konstitusi, tetapi kalau penyelenggaranya tidak mempunyai kesadaran dan semangat yang tinggi tercapainya tujuan negara, maka konstitusi tersebut tidak akan memberi arti banyak bagi kelangsungan hidup bernegara.
Dalam pandangan Jimly Asshidiqie, semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Constitutions menurut Ivo D Duchacek, “identify the sources, purposes, uses and restrains of public power” (mengidentifikasikan sumber, tujuan penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Karena itu pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitusionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich, didefinisikan sebagai “an institutionalised system of effective, regularised restraints upon governmental action” (suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan). Maka, persoalan utama dalam setiap konstitusi adalah mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
A Hamid S Attamimi, menyimpulkan pentingnya suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Hal ini pada hakekatnya ialah tata cara yang oleh Peter Badura disebut tata cara menurut konstitusi (die verfassungsmaszige Ordnung).
Menurut Maurice Duverger, ada tiga macam upaya untuk melaksanakan pembatasan kekuasaan penguasa. Tiga macam usaha tersebut adalah:
1. Usaha yang pertama ditujuakan untuk melemahkan dan membatasi kekuasaan penguasa dengan secara langsung. Dalam usaha ini terdapat tiga macam cara yang umum dipergunakan, yaitu:
a. Pemilihan para penguasa.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilihan para penguasa oleh rakyat yang akan diperintah, itu merupakan salah satu cara yang paling mudah dan praktis untuk melaksanakan dan mencapai maksud dari prinsip pembatasan kekuasaan penguasa. Namun dengan catatan bahwa pemilihan tersebut disertai dengan syarat-syarat yang bebas dan dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pembagian kekuasaan
Menurut Maurice Duverger, salah satu cara yang baik untuk membatasi atau melemahkan kekuasaan penguasa, dengan maksud untuk mencegah agar para penguasa itu jangan sampai menyalahgunakan kekuasaannya atau bertindak sewenang-wenang dengan melebarkan cengkeraman totaliternya atas rakyat. ajaran Montesqquieu:”kekuasaan membatasi kekuasaan”. Namun Duverger memberikan catatan, hendaknya pembagian kekuasaan dipahami dalam pengertian yang luas, maksudnya tidak saja dalam arti pemisahan kekuasaan menurut tipe Trias Politika klasik.
c. Kontrol yurisdiksional
Maksudnya adalah adanya peraturan-peraturan hukum yang menentukan hak-hak atau kekuasaan-kekuasaan, yang pelaksanaannya diawasi dan dilindungi oleh organ-organ pengadilan dari lembaga-lembaga lainnya dengan tujuan membatasi kekuasaan penguasa. Juga memberikan kekuasaan kepada lembaga pengadilan untuk mengontrol, mengatur serta mengendalikan lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga administrasi. Suatu kontrol yurisdiksional yang sempurna menurut Maurice Duverger harus meliputi dua hal. Pertama, kontrol atas syah atau tidaknya tindakan-tindakan badan eksekutif, agar tercegah timbulnya pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang. Kedua, kontrol agar Undang-Undang dan peraturan-peraturan hukum lainnya tidak menyimpang dari Undang-Undang dasar atau konstitusi. Ini adalah salah satu cara untuk menjaga agar parlemen—dimaksudkan badan pembuat undang-undang, tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar atau konstitusi, dan pernyataan hak-hak asasi warga negara.
2. Usaha yang kedua untuk membatasi kekuasaan penguasa adalah dengan menambah atau memperkuat kekuasaan pihak yang diperintah. Jadi ada daya kesanggupan rakyat untuk menolak pengaruh-pengaruh dari penguasa yang bisa melemahkan rakyat. Yang dimaksud oleh Maurice Duverger dengan hal ini adalah apa yang dinamakan kekuasaan pribadi. Misalnya saja, perkumpulan-perkumpulan, pers dsb.
3. Usaha yang ketiga dalam melakanakan pembatasan kekuasaan penguasa, dengan mengusahkan adanya semacam intervensi oleh penguasa dari masyarakat atau negara yang lain, dan intervensi ini harus dilakukan secara timbal balik. Usaha ini disebut pengendalian atau pembatasan secara federalisme. Ini pada asasnya terjadi pada pembatasan penguasa, oleh penguasa, oleh penguasa lain, di dalam menjalankan kekuasaan atas bangsa yang dikuasainya. Usaha ini dapat dibedakan dalam dua cara. Pertama, pembatasan kekuasaan penguasa secara federalisme yang bersifat intern, atau dalam negeri. Kedua, pembatasan kekuasaan penguasaa yang diselenggarakan oleh pengawasan internasi

A. Kesimpulan.
Konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan pemerintah karena pada dasarnya konstitusi dibuat adalah untuk kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya konstitusi memberikan wewenang bagi para aparatur negara terutama eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mengatur jalannya roda pemerintahan. Para pembuat konstitusi merasa bahwa jenis hubungan tertentu antara eksekutif dan legislatif adalah penting atau bahwa yudikatif harus dijamin mempunyai tingkat kemandirian tertentu terhadap legislatif dan eksekutif atau ada hak-hak yang harus dimiliki oleh warga negara dan tidak boleh dilanggar atau dihapuskan oleh eksekutif dan legislatif serta masih banyak lagi hal-hal yang mesti diatur dalam sebuah konstitusi secara tertulis yang memberikan perlindungan pada setiap warga negara meskipun tingkat pembatasan itu beragam dari satu kasus dengan kasus lain
Sifat pokok konstitusi negara adalah fleksibel (luwes) dan rigit (kaku). Konstitusi negara memiliki sifat fleksibel / luwes apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan sewaktu-waktu sesuai perkembangan jaman /dinamika masyarakatnya. Sedangkan konstitusi negara dikatakan rigit kaku apabila konstitusi itu sulit untuk diubah kapanpun.
Fungsi pokok konstitusi adalah membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Pemerintah sebagai suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, terkait oleh beberapa pembatasan dalam konstitusi negara sehigga menjamin bahwa kekuasaan yang dipergunakan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan.
Dengan demikian diharapkan hak-hak warganegara akan terlindungi.
Sesuai dengan istilah konstitusi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diarti kan sebagai:
1) Segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan. 2) Undang-undang Dasar suatu Negara. Berdasarkan pengertian tersebut, konstitusi merupakan tonggak atau awal terbentuknya suatu negara dan menjadi dasar utama bagi penyelenggara negara. Oleh sebab itu, konstitusi menempati posisi penting dan strategis dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Konstitusi juga menjadi tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu sekaligus memuat ide-ide dasar yang digariskan oleh pendiri negara ( the founding fathers ). Konstitusi memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan Negara menuju tujuannya

DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Atmadja, I. Dewa Gede, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Malang: Setara Press, 2010.

Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Jakarta: Disertasi UI, 1990.

Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya,
Jakarta: UI-Press, 1995.

Chaidir, Ellydar, Hubungan Tata Kerja Presiden dan wakil Presiden, Perspektif Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2001).

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Huda, Ni’matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Malian, Sobirin, Gagasan Perluya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, Yogyakarta: UII Press, 2001.

MD, Mahfud, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1995.

Soehino SH, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-undang (PERPU), Malang: UMM Press, 2002.

Syahuri, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi ( Proses Dan Prosedur Perubahan UUD Di Indonesia 1945-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia), Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, 2008.

Wheare , K.C., Konstitusi-Konsitusi Modern, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar